suaranurani.com | SURABAYA – Generasi Z merupakan salah satu generasi yang lahir dengan kemajuan teknologi yang pesat. Namun, dengan kondisi tersebut menyebabkan generasi Z dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah. Para generasi Z cenderung rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Fenomena tersebut tak luput menjadi sorotan Pakar Psikologi dan Perkembangan Anak UNAIR, Prof. Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., Psikolog. Ia mengungkapkan, salah satu penyebab gen Z memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah disebabkan oleh penggunaan sosial media kurang tepat.
Prof Nurul mengatakan, keberadaan sosial media tak dapat dipungkiri memudahkan kehidupan para generasi Z. Namun, dalam penggunaannya harus mendapat perhatian khusus agar sosial media menjadi platform tepat guna.
“Sebetulnya, hadirnya media sosial ini memiliki dua mata sisi. Yakni, dapat berdampak positif jika dapat menggunakannya dengan bijak dan dapat berdampak negatif jika keliru dalam penggunaannya,” jelasnya kepada Unair News. Senin, (29/4/2024).
Pola Lingkungan Yang Positif
Prof Nurul menerangkan, fenomena tersebut tidak terjadi dengan rentang waktu yang singkat, namun terbentuk karena proses yang cukup panjang. Orang tua dan keluarga memiliki peranan besar membangun lingkungan yang positif sedari dini.
Ia menambahkan, para orang tua harus menerapkan pola asuh yang tepat dan sehat ditengah era digitalisasi. Salah satunya, dengan memberikan pengenalan dan pengawasan sedari dini yang tepat dalam penggunaan sosial media. Anak-anak yang lepas dari kontrol orang tua akan rentan terpengaruh hal negatif di sosial media.
“Anak yang rentan terpengaruh hal disosial media akan cenderung menjadi sensitif. Seperti halnya kasus anak yang mendapat ejekan dari kawan sebayanya melalui media sosial. Hal yang demikian akan menimbulkan trigger dalam diri anak,” sambungnya.
Fenomena Second Account
Faktor lainnya yang mempengaruhi kesehatan mental para gen Z yakni sebagian besar mereka memiliki lebih dari satu akun di media sosial. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar mereka tidak ingin menampakkan jati diri aslinya di media sosial.
Prof Nurul menilai, fenomena tersebut menunjukkan kepribadian yang kurang sehat. Ibaratnya, dalam sosial media para gen Z harus memakai banyak topeng layaknya bermain peran. Jika fenomena tersebut berlangsung cukup lama akan mempengaruhi kesehatan mental bagi gen Z.
“Tentunya, mereka akan mengalami kelelahan karena fenomena tersebut. Dari sini kita dapat lihat pendidikan dalam keluarga menjadi faktor protektif untuk para gen Z terhadap pengaruh media sosial yang negatif,” terangnya.
Kontrol Diri
Melihat fenomena ini, Prof Nurul mengimbau agar para gen Z memiliki kontrol diri terhadap penggunaan sosial media. Mengatur dan membatasi waktu dalam menggunakan sosial media. Dengan batasan tersebut, para gen Z akan meminimalisir adanya dampak negatif dari sosial media.
‘Nah, kontrol diri ini dapat meliputi seberapa lama kita terpapar media sosial. Misalnya, dalam waktu 1-2 jam dirasa sudah lelah dalam menggunakan media sosial harus segera berhenti dan mencari distraksi lainnya,” bebernya.
Ia menegaskan, batasan-batasan menggunakan sosial tidak ada patokan, yang mengetahui batasan waktu tersebut hanya diri sendiri. Dengan memiliki kontrol diri yang tepat, gen Z dapat terhindar dari gangguan kesehatan mental. (ara)