suaranurani.com | JAKARTA – Sejak diberlakukannya aturan Standar Nasional Indonesia (SNI ) wajib tepung terigu pada tahun 2000, seluruh industri terigu nasional senantiasa taat melakukan fortifikasi tepung terigu yaitu berupa penambahan zat gizi mikro seperti zat besi (Fe), zink (Zn), asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2. Kandungan seluruh fortifikasi tepung terigu tersebut terdapat dalam Premiks Fortifikan yang selama ini diperoleh para pelaku industri tepung terigu di Indonesia melalui distributor (trader) di dalam negeri.
Selama 23 tahun lebih, seluruh pelaku industri terigu nasional mematuhinya apalagi menyangkut kecukupan gizi makanan untuk para konsumen. Selama itu pula pelaku industri tidak pernah kesulitan mendapatkan Premiks Fortifikan. Namun dengan aturan baru Permendag 36/2023, dimana pemasukan Premiks Fortifikan yang semula hanya dengan LS (Laporan Surveyor) menjadi harus dengan Persetujuan Impor (PI) dan LS, pasti sangat berdampak kepada ketersediaan Premiks Fortifikan untuk kebutuhan industri terigu nasional saat ini.
“Perlu kami sampaikan dan tegaskan, kalau ketersediaan Premiks Fortifikan dari setiap anggota kami industri terigu nasional ketersediaanya cukup untuk bulan April 2024 sampai dengan bulan Juni 2024. Jika belum ada solusi pengadaan Premiks Fortifikan sampai dengan bulan April ini, hampir bisa dipastikan pasokan tepung terigu nasional akan berkurang lebih dari 50%. Dan pasti berpotensi berdampak kepada kelangkaan tepung terigu, bahkan kenaikan harga tepung terigu di pasar. Kasihan masyarakat kita,” tegas Franciscus Welirang, Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) dalam Siaran Pers, Selasa (16/04/2024).
Perlu diketahui, produksi industri terigu nasional tahun 2023 sekitar 6,8 juta metrik ton tepung terigu atau setara dengan 8,7 juta metrik ton gandum. Ini sama dengan kebutuhan tepung terigu di kisaran 550 ribu – 600 ribu metrik ton per bulannya untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sementara kebutuhan akan Premiks Fortifikan (HS 2106.90.73) sekitar 1.500–1.800 metrik ton per tahun.
APTINDO berterima kasih atas dukungan Pemerintah RI selama ini kepada industri terigu nasional, sehingga investasi di bidang industri terigu nasional dan industri makanan berbahan baku terigu tetap tumbuh setiap tahunnya. Bahkan ada jutaan UKM yang bergerak di usaha makanan berbasis tepung terigu. Tapi dengan aturan yang baru terkait impor Premiks Fortifikan ini, sungguh akan mengganggu rantai pasok tepung terigu secara nasional bahkan sektor usaha para UKM.
APTINDO sudah berkirim surat kepada Pemerintah melalui berbagai instansi terkait sejak bulan Maret lalu. Bahkan surat pertama APTINDO langsung ditujukan kepada Menko Bidang Perekonomian dan Menteri Perdagangan. Sebagai catatan, kapasitas produksi seluruh anggota APTINDO sama dengan sekitar 95 persen kebutuhan tepung terigu nasional.
“Tapi sampai sekarang, sudah hampir 2 bulan, belum ada balasan. Kami para pelaku industri terigu nasional belum pernah mendapat arahan yang jelas dan pasti, kenapa harus berubah aturan impor pengadaan Premiks Fortifikan ini. Bahkan tidak ada jawaban yang pasti. Dan yang pasti akan semakin sulit karena prosedur administrasi makin panjang dan butuh waktu lama bisa sampai berbulan-bulan. Sementara produksi tepung terigu harus jalan terus. Kami tidak mungkin memasarkan tepung terigu ke masyarakat tanpa adanya Premiks Fortifikasi. Karena itu adalah aturan wajib pemenuhan hak-hak konsumen yang tidak boleh kami langgar. Kami industri tepung terigu nasional yang taat konstitusi,” tegas pria yang akrab disapa Franky Welirang ini.
Terkait hal itu, Franky yang juga Kepala Divisi Bogasari, pelaku industri terigu yang sudah beroperasi ½ abad lebih di Indonesia untuk melayani kebutuhan konsumen khususnya di sektor makanan berbasis terigu, berharap Pemerintah segera meninjau ulang aturan Permendag 36/2023 tentang pengadaan Premiks Fortifikan.
“Pemerintah harus dan perlu segera membuatkan aturan baru atau pengecualian khusus terkait impor Premiks Fortifikan untuk tepung terigu, karena stok sudah sangat menipis. Bahkan ada yang sudah habis bulan April ini. Jangan sampai Pemerintah melanggar sendiri aturan yang dibuatnya, yakni Aturan Wajib Fortifikasi SNI. Jangan juga menghambat penyelesaian masalah yang menjadi perhatian Pemerintah saat ini yakni masalah stunting dan atau pemenuhan kebutuhan gizi,” tegas Franky.
Fortifikasi Hak Konsumen
Ketua Umum APTINDO ini juga mengingatkan masyarakat agar tidak membeli tepung terigu yang tidak memenuhi syarat fortifikasi SNI. Penambahan fortifikasi punya dasar hukum, termasuk pemenuhan hak-hak konsumen yang dilindungi undang-undang dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 tahun 2024.
Program fortifikasi tepung terigu sudah berjalan sejak tahun 2000. Sudah sejak tahun 1995, Pemerintah RI, Asian Development Bank (ADB) dan UNICEF merintis proyek penanggulangan kekurangan gizi mikro melalui fortifikasi tepung terigu dengan zat besi (Fe), seng (Zn), asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2. Studi ini diperkuat dengan adanya rekomendasi WHO pada tahun 2009 tentang Rekomendasi Fortifikasi Tepung Terigu untuk penanggulangan kekurangan zat gizi.
“Jadi jelas, bahwa pengadaan Premiks Fortifikasi wajib dijamin ketersediaannya oleh Pemerintah, untuk pemenuhan persyaratan fortifikasi produk tepung terigu yang sudah menjadi perhatian dunia, tidak lagi hanya Indonesia. Masyarakat sebagai konsumen juga berhak mendapatkan produk yang sudah fortifikasi sesuai SNI, terutama untuk pemenuhan kebutuhan gizi dan ada dasar hukumnya. Mereka berhak protes dan menolak mengosnumsi tepung terigu yang tidak memenusi fortifikasi,” tegas Franky Welirang.
Ia mengatakan, sangat wajar kemudian kalau masalah ketersediaan Premiks Fortifikan akibat aturan Permendag 36/2023 ini juga mendapat sorotan dari Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI) dan Institut Gizi Indonesia (IGI). Kedua lembaga nasional bahkan sudah berikirim surat kepada Pemerintah per tanggal 3 April 2024, melalui Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.
Dari penilaian KFI dan IGI, dampak yang bisa ditimbulkan oleh peraturan tersebut sangatlah besar, terutama terancamnya program fortifikasi pangan wajib yang akan berimbas besar pada turunnya asupan zat gizi besi, zink, asam folat dan sejumlah vitamin B, khususnya pada rumah tangga miskin yang memperoleh manfaat dari program fortifikasi wajib ini. Pada gilirannya jika berkepanjangan dikhawatirkan hal ini akan meningkatkan prevalensi Anemia Gizi Besi (AGB) pada semua kelompok umur.
Dampak lainnya adalah berpotensi menghambat upaya Indonesia untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang aktif, sehat, produktif dan kompetitif karena terhambatnya program penanggulangan Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi tepung terigu. Sehubungan dengan hal itu, Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia dan Institut Gizi Indonesia meminta agar Pemerintah yang terkait dalam hal ini segera mencari solusi.(ara)